Kamis, 11 Desember 2008

Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat

Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum Amandemen

Di dalam Penjelasan UUD 1945, dicantumkan pokok-pokok Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagai berikut :
Indonesia adalah negara hukum (rechtssaat)
Sistem Konstitusional
Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD.
Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Dalam hal ini kami mengupas tentang materi kelima, yakni mengenai Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.


Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat

Kedudukan Presiden dengan DPR adalah neben atau sejajar. Dalam hal pembentukan undang-undang dan menetapkan APBN, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan DPR. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari Dewan. Presiden tidak dapat membu-barkan DPR seperti dalam kabinet parlementer, dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden.
Pada saat setelah amandemen, dengan memperhatikan pasal-pasal tentang kekuasaan pemerintahan negara (Presiden) dari Pasal 4 s.d. 16, dan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19 s.d. 22B), maka ketentuan bahwa Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR masih relevan. Sistem pemerintahan negara republik Indonesia masih tetap menerapkan sistem presidensial.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi DPR mengawasi pelaksanaan mandat (kekuasaan pemerintah) yang dipegang oleh presiden dan DPR harus saling bekerja sama dalam pembentukan undang-undang termasuk APBN. Untuk mengesahkan undang-undang, presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Hak DPR di bidang legislative ialah hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget.
Hak DPR di bidang pengawasan meliputi:a. Hak tanya/bertanya kepada pemerintah;b. Hak interpelasi, yaitu meminta penjelasan atau keterangan kepada pemerintah;c. Hak Mosi (percaya/tidak percaya) kepada pemerintah;d. Hak Angket, yaitu hak untuk menyelidiki sesuatu hal;e. Hak Petisi, yaitu hak mengajukan usul/saran kepada pemerintah.

Fungsi dan Tugas Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden

Sebelum Amandemen


Presiden
Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.
Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and responsiblity upon the president).
Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power).
Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.


Dewan Perwakilan Rakyat
Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
Memberikan persetujuan atas PERPU.
Memberikan persetujuan atas Anggaran.
Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.


Sesudah Amandemen

Presiden
Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.
Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.

Dewan Perwakilan Rakyat
Posisi dan kewenangannya diperkuat.
Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.


Hubungan Kerja antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden

Hubungan kerja antara presiden dan DPR antara lain adalah mengenai proses pembuatan undang-undang antara presiden dan DPR yang diatur dalam pasal 20 ayat 2, 3, 4, dan 5. Yaitu setiap rancangan undang-undang harus dibahas oleh presiden dan DPR untuk mendapat persetujuan bersama (ayat 2). Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, maka maka rancangan undang-undang itu tidak dapat diajukan lagi pada masa persidangan itu (ayat 3). Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama, (ayat 4) dan apabila presiden dalam waktu 30 hari setelah rancangan undang-undang itu disetujui bersama, undang-undang itu sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (ayat 5). Untuk terbentuknya undang-undang, maka harus disetujui bersama antara presiden dengan DPR. Walaupun seluruh anggota DPR setuju tapi presiden tidak, atau sebaliknya, maka rancangan undang-undang itu tidak dapat diundangkan.
Selanjutnya mengenai fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR. Yaiyu mengawasi presiden dan wakil presiden dalam pelaksanaan kekuasaan eksekutif. Dan DPR dapat mengusulkan pemberhentian Presisiden sebagai tindak lanjut pengawasan (pasal 7A).
Dalam bidang keuangan, RUU APBN diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD (pasal 23 ayat 2). Apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan presiden, pemerintah menjalankan APBN tahun lalu(pasal 23 ayat 3).
Hubungan kerja lain antara DPR dengan Presiden antara lain: melantik presiden dan atau wakil presiden dalam hal MPR tidak dapat melaksanakan sidang itu (pasal 9), memberikan pertimbangan atas pengangkatan duta dan dalam hal menerima duta negara lain (pasal 13), memberikan pertimbangan kepada presiden atas pemberian Amnesti dan Abolisi (pasal 14 ayat 2), memberikan persetujuan atas pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (pasal 11), memberikan persetujuan atas pengangkatan komisi yudisial (pasal 24B ayat 3), memberikan persetujuan atas pengangkatan hakim agung (pasal 24A ayat 3).

Dasar Hukum dan Materi Pertanggungjawaban Presiden

Presiden memang tidak bertanggung jawab terhadap DPR, namun presiden bertanggung jawab pada MPR melalui sidang istimewa. Berikut ini akan kami bahas mengenai dua masalah, yaitu tentang dasar hukum dan materi pertanggungjawaban Presiden dalam masa jabatan.
· Dasar hukum
Dasar hukum pertanggungjawaban Presiden kepada MPR tercantum dalam bagian penjelasan UUD 1945 dan Ketetapan MPR. Tiga hal yang dapat dikemukakan dalam bagian penjelasan, yaitu : (a) Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President); (b) Majelis yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis; (c) Presiden diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis.
Presiden bertanggung jawab kepada Majelis, kecuali itu Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat. Sejak Dekrit 5 Juli 1959 bagian penjelasan menjadi lampiran resmi Keputusan Presiden Nomor 159 Tahun 1959. Dengan demikian bagian penjelasan ini harus digunakan sebagai tafsir resmi UUD 1945. Jika bagian penjelasan masih kurang cukup dan diragukan secara tafsir UUD 1945, dapat digunakan ketetapan MPR yang merupakan pelengkap aturan dasar ketatanegaraan di samping UUD 1945.
Di dalam Pasal 5 Ketetapan MPR No III/MPR/1978 dinyatakan : (1) Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis dan pada akhir masa jabatannya memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan Haluan Sidang Majelis. (2) Presiden wajib memberikan pertanggungjawaban di hadapan Sidang Istimewa Majelis yang khusus diadakan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden dalam pelaksanaan Haluan Negara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar dan Majelis. Ketetapan MPR No II/ MPR/2000 mengatur lebih lanjut tentang teknik pelaksanaan persidangan MPR. Dalam Pasal 98 Ayat (1) Ketetapan MPR No II/MPR/2000 dinyatakan: "Pertanggungjawaban Presiden disampaikan dalam Sidang Umum Majelis yang diselenggarakan pada akhir masa jabatan keanggotaan Majelis dan Sidang Istimewa Majelis yang diselenggarakan untuk keperluan itu".
Substansi pertanggungjawaban itu dievaluasi oleh MPR untuk kemudian pertanggungjawaban tersebut ditolak atau diterima. Dalam hal pertanggungjawaban Presiden ditolak, Presiden diberikan hak jawab, yang maksudnya memberikan kesempatan kepada Presiden untuk mengklarifikasikan lagi pertanggungjawabannya kembali dengan peluang memberikan pelengkap pertanggungjawaban. Dalam hal pelengkap pertanggungjawaban Presiden ditolak, MPR dapat memberhentikan Presiden.
· Materi pertanggungjawaban
Materi Pertanggungjawaban Presiden dalam masa jabatan harus disesuaikan dengan memorandum DPR. Materi pertanggungjawaban itu yang akan digunakan sebagai bahan penilaian dan alasan penerimaan atau penolakan pertanggungjawaban. Sidang Paripurna ke-62 DPR tanggal 30 Mei 2001 akhirnya menetapkan langkah selanjutnya memorandum kedua, untuk ditindaklanjuti dengan sidang istimewa. Sidang Istimewa MPR termaksud adalah bagian dari proses ketatanegaraan yang diawali dari memorandum pertama.
Dalam Sidang Paripurna DPR ke-36 tanggal 1 Februari 2001, DPR menerima dan menyetujui laporan hasil kerja Panitia Khusus penyelidikan terhadap kasus dana milik Yanatera Bulog dan Dana Bantuan Sultan Brunei Darussalam. Dalam Sidang Paripurna DPR tersebut, DPR telah memutuskan memorandum pertama yang berisikan dua hal.
Pertama, berisikan "memorandum" yang berkait dengan proses ketatanegaraan yang diatur melalui Ketetapan MPR No III/MPR/1978.
Kedua, berisikan hal yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran hukum, untuk diserahkan melalui proses peradilan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku penyelesaian jalur ketatanegaraan yang dilakukan dengan menyelenggarakan sidang istimewa memerlukan materi yang rinci yang harus dipertanggungjawaban Presiden.
Dalam hal ini Presiden dapat merujuk kembali catatan tentang hasil pembahasan MPR terhadap laporan tahunan Presiden. Dari hasil pembahasan terhadap laporan tahunan Presiden, Presiden diminta agar sungguh-sungguh melaksanakan Ketetapan MPR No XI/ MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas kolusi, korupsi, dan nepotisme. Sejalan dengan isi memorandum pertama DPR, dalam sidang istimewa, MPR hanya dibenarkan meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden yang berkait dengan pelaksanaan Ketetapan MPR No XI/ MPR/1998. Pada Sidang Istimewa MPR 2001, Presiden hanya diwajibkan memberikan pertanggungjawaban dengan materi pelaksanaan Ketetapan MPR No .XI/MPR/1998.